Allah ta’ala menceritakan (yang artinya), “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak mau berhenti niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi. Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.” (QS. Maryam [19] : 41-50)
Dalam rangkaian ayat ini, banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik, antara lain :
Pertama
Disebutkannya kisah sebagian nabi atau rasul dalam al-Qur’an secara khusus menunjukkan bahwa sosok yang diceritakan memiliki kesempurnaan dan keutamaan yang lebih daripada selain mereka.
Kedua
Keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para nabi atau rasul disebabkan oleh ketundukan mereka dalam beribadah kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya yang begitu dalam tertanam di hati, taubat dan ketaatan mereka, kewajiban-kewajiban yang berhasil mereka tunaikan kepada-Nya, juga karena mereka mampu menunaikan hak sesama hamba, mereka senantiasa berusaha mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah, mereka pun bersabar dalam menjalani itu semua, dan mereka juga mengerjakan amal salih lainnya sehingga membuat kedudukan mereka tinggi di sisi Allah ta’ala.
Ketiga
Di dalam ayat di atas Allah menyebut Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai, ‘seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi’. Beliau adalah seorang yang shiddiq, artinya beliau senantiasa jujur dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Beliau selalu membenarkan apa saja yang harus dibenarkan. Pembenaran itulah yang melahirkan pengetahuan beliau yang begitu dalam sehingga sampai tertanam ke dasar lubuk hati. Ilmu yang menimbulkan pengaruh yang begitu hebat dan membuahkan keyakinan yang kokoh dan amal salih yang sempurna, demikianlah hakikat kesitimewaan Nabi Ibrahim yang dikisahkan oleh Allah ta’ala di sini.
Keempat
Nabi Ibrahim begitu menyayangi ayahnya. Oleh sebab itu beliau mendakwahi ayahnya yang musyrik dengan menempuh cara sebagus mungkin. Di dalam dialog ini Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya secara bertahap. Beliau mendakwahi ayahnya dengan cara yang paling mudah dipahami menuju perkara yang mudah dimengerti selanjutnya. Pertama; beliau memberitahukan kepada ayahnya tentang pengetahuan yang beliau miliki. Dalam hal ini pun beliau menggunakan ungkapan yang sangat halus agar tidak menyakiti perasaan ayahnya. Beliau berkata, ”Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu.” Beliau tidaklah mengatakan, ”Wahai ayahku, aku ini alim sedangkan engkau bodoh.” Atau bahkan mengatakan, ”Engkau tidak punya ilmu sama sekali.” Sebab dengan ungkapan seperti yang beliau utarakan itu maka menunjukkan bahwa beliau dan ayahnya sama-sama punya ilmu akan tetapi kepada beliau telah sampai ilmu lain yang tidak sampai kepada ayahnya. Yang itu berarti mengharuskan ayahnya untuk mengikuti dan tunduk kepada hujjah yang beliau bawa. Kemudian berikutnya beliau mengajak ayahnya, ”Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” Ini menunjukkan bahwa jika ayahnya mengikuti Nabi Ibrahim maka dia akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Kemudian berikutnya, beliau melarang ayahnya menyembah syaitan, ”Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah.” Beliau menyatakan demikian dikarenakan barang siapa yang menyembah selain Allah maka pada hakikatnya dia telah menyembah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan maka dia telah menjadikan syaitan sebagai penolongnya, dan dia menjadi orang yang durhaka kepada Allah sebagaimana halnya syaitan. Disebutkannya nama ar-Rahman di dalam deretan ungkapan, ”Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada ar-Rahman.” menunjukkan bahwa sebenarnya kemaksiatan itulah yang menghalangi hamba mendapatkan curahan rahmat dari Allah. Sebagaimana halnya ketaatan menjadi sebab paling utama turunnya rahmat Allah. Kemudian selanjutnya Nabi Ibrahim memberitahukan kepada ayahnya bahaya yang timbul akibat menaati bujukan syaitan yaitu berupa azab dari Allah. Oleh sebab itu beliau memperingatkan akan bahaya itu kepada ayahnya. Dan beliau mengingatkan kalau ayahnya tetap saja menyembah berhala maka itu artinya dia telah menjadikan syaitan sebagai kawan.
Kelima
Meskipun sudah sedemikian halus dan lembut cara yang beliau tempuh dalam mendakwahi ayahnya namun ternyata sang ayah tetap pada pendiriannya yang salah. Sang ayah berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Ternyata, ancaman yang justru beliau terima. Sungguh ini merupakan bentuk kebodohan. Meskipun demikian Nabi Ibrahim menyambut ancaman tersebut dengan jawaban seorang Ibadur Rahman terhadap orang-orang yang jahil. Beliau tidak balas mencacinya. Akan tetapi beliau memilih untuk bersabar dan tidak menanggapi sikap buruk ayahnya dengan perbuatan buruk yang tidak disukainya. Bahkan beliau berjanji untuk memintakan ampunan kepada Allah untuk ayahnya dan tetap mendoakannya agar mendapatkan hidayah. Namun tatkala segala cara sudah beliau tempuh agar kaumnya dan ayahnya mendapatkan hidayah dan tidak membuahkan hasil maka beliau pun memilih sikap untuk meninggalkan mereka dan menyibukkan diri untuk memperbaiki diri sendiri. Memang hal itu terasa berat bagi beliau namun itulah satu-satunya jalan untuk menjaga diri dari keburukan mereka. Maka beliau pun rela meninggalkan mereka karena Allah. Karena itulah Allah pun berkenan menggantikannya dengan karunia yang jauh lebih baik yaitu berupa lahirnya keturunan yang salih dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul dari garis anaknya Ishaq dan Ya’qub. Bahkan Allah juga melimpahkan tambahan rahmat-Nya kepada beliau yang berupa ilmu yang bermanfaat, amal salih, keturunan yang banyak lagi tersebar ke berbagai penjuru dan melahirkan banyak nabi dan orang-orang salih.
(disadur dari Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 494-495)